Sabtu, 20 Agustus 2011

KRITIK TERHADAP LAKU PRIHATIN

KRITIK TERHADAP “LAKU PRIHATIN”

Berusaha memaknai laku prihatin secara tepat,
yang selama ini banyak orang telah salah kaprah
dalam memaknai dan memahaminya.

MAKNA PRIHATIN

Untuk memudahkan pemahaman, prihatin saya akronimkan sebagai kepanjangan dari rasa perih ing sajroning batin. Perih di dalam batin karena seseorang tidak lagi bergumul dalam kenikmatan jasad mengumbar nafsu-nafsu ragawinya. Sebaliknya meredam atau mengendalikan nafsu-nafsu tersebut agar berfungsi secara alamiah dan proporsional, yakni sekedar sebagai alat mempertahankan kelangsungan hidup (survival), bukan untuk mengumbar segala keinginan ragawi yang erat dengan kenikmatan. Pengendalian atas nafsu-nafsu sebagai bentuk sikap mengikuti kareping rahsa (sejati). Sementara itu sikap mengumbar hawa nafsu merupakan perilaku menuruti segala macam kemauan dan keinginan panca indera tanpa mempertimbangkan apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban diri pribadinya maupun orang lain. Saya gambarkan sebagai sikap mengikuti rahsaning karep (mengumbar napsu hawa).

Nafsu tak perlu dimatikan, hanya butuh pengendalian diri atau sikap mengekang hawa nafsu. Jika belum terbiasa konsekuensinya akan menimbulkan efek perasaan yang tidak nikmat karena pupusnya kesenangan ragawi yang selalu didambakan jasad. Hal inilah yang membuat kekecewaan dan akhirnya menimbulkan efek “kepedihan atau kepahitan” yang dirasakannya. Sebaliknya, mengumbar hawa nafsu, akan mendapatkan kesenangan dan kenikmatan (bersifat semu) yang tiada taranya. Namun kesenangan itu hanya sebatas “kulit” atau kesenangan imitasi yang tak ada limitnya. Bagai meneguk air laut, semakin banyak diminum, semakin terasa haus. Untuk lebih jelasnya para pembaca silahkan membuka kembali posting saya terdahulu tentang “Di manakah level Anda” di mana saya gambarkan proses perjalanan kesadaran manusia.

Itulah gambaran dari rahsaning karep, wujud konkritnya hanya berupa “kesenangan” yang bersifat imitasi saja. Sebaliknya, kareping rahsa (sejati) sekalipun terasa pahit hanyalah pada level “kulit”nya saja. Bagi orang yang memahami hakekat kehidupan, di balik penderitaan dan kepahitan itu sungguh menyimpan sejuta kebahagiaan. Hanya saja sedikit orang yang benar-benar tahu dan mau membuktikan “postulat” ini. Karep maksudnya adalah keinginan nafsu sering dikiaskan pula sebagai “godaan setan yang terkutuk”. Godaan bisa berasal dari luar diri, yang diserap oleh panca indera, yakni; pori-pori kulit sebagai efek rangsangan akibat adanya persentuhan dengan lawan jenis dsb. Bisa pula melalui rangsangan mata, telinga, penciuman, dan indera pencicip mulut sebagai gerbang kerakusan perut. Mulut juga bisa berperan sebagai pengobral kata-kata hasutan, penebar kalimat kebencian dan permusuhan. Dalam cerita pewayangan, panca indera dilukiskan ke dalam simbol-simbol Pendawa Lima. Jika tepat memanajemen akan memproduksi output yang sangat positif dan konstruktif, sebaliknya menimbulkan output yang sangat negatif, merusak, destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan alamnya.

MANUSIA MENENTUKAN PILIHAN, TUHAN (ALAM) MENENTUKAN KONSEKUENSINYA

Semua orang dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ibarat pisau, manusia bebas memilih mau menggunakannya sebagai sarana yang positif dan konstruktif atau digunakan sebagai sarana negatif dan destruktif. Yang jelas, bukan urusan tuhan untuk mengatur apakah seseorang memilih jahat, hidup berada dalam kegelapan, atau memilih menjadi baik, hidup dalam cahaya terang. Jika tuhan yang memilihkan, berarti itu tuhan palsu yang berada di dalam imajinasi manusia. Imajinasi manusia beresiko “menciptakan” tuhan bodoh dengan manajemen yang tidak adil. Bagi tuhan yang maha pinter, tentunya untuk menentukan pilihan tersebut semua terserah manusia. Sementara itu, tuhan atau hukum alam semesta cukup merangkai konsekuensi secara detil, adil dan lugas untuk masing-masing pilihan manusia tersebut. Nah dengan pemahaman seperti ini, terasa tuhan lebih adil kan. Selain itu, manusia akan berhenti mencari-cari kambing hitam, menyalahkan tuhan karena tidak memberikan petunjuk untuk dirinya. Petunjuk untuk menjatuhkan pilihan pun menjadi tanggungjawab setiap manusia. Siapa yang mau berusaha, tentu akan membuahkan hasil.

UNTUK APA MENJALANI LAKU PRIHATIN (NURUTI KAREPING RAHSA) ?

Perlu saya garis bawahi bahwa laku prihatin sangat berbeda dengan penderitaan. Penderitaan merupakan keadaan tidak menyenangkan, yang menyiksa secara lahir atau pun batin. Namun tidak semua penderitaan adalah bentuk laku prihatin. Untuk menilai apakah suatu keadaan termasuk kategori laku prihatin ataukah bukan, Anda bisa mencermati faktor penyebabnya. Selain itu suatu penderitaan termasuk laku prihatin atau bukan, sangat tergantung cara masing-masing individu dalam mengambil sikap.

Pertama, perilaku dan sikap yang tabah, sabar, tulus, bijaksana dan arif. Tipikal pribadi demikian ini mempunyai level kesadaran yang bermanfaat sebagai pengendalian nafsu. Kemerdekaan lahir dan batin yang terbesar manusia justru pada saat mana ia bisa meredam, menahan, atau mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Inilah sifat arif dan bijaksana, yang merubah penderitaan menjadi bentuk “laku prihatin”. Bahkan dalam tataran kesadaran spiritual yang lebih tinggi, seseorang akan menganggap penderitaannya sebagai jalan “penebusan dosa” atau “menjalani sanksi” (eksekusi pidana) atas kesalahan yang sadar atau tidak telah dilakukan di waktu yang telah lalu. Dalam tradisi Jawa-isme, menjalani penderitaan (musibah, bencana, sakit, kesulitan dll) dengan sikap sabar, tulus, dan tabah, sepadan dengan makna karma-yoga atau kesadaran diri untuk melakukan penebusan atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Kedua, sikap yang keduwung nepsu. Atau dikuasai oleh nafsunya sendiri manakala tengah mengalami suatu penderitaan. Misalnya sikap emosional yang berlebihan; bersedih terlalu berlarut-larut, kalap, putus asa, selalu menggerutu dan grenengan, selalu mencari-cari kesalahan pada pihak-pihak lain, serta tak mau melakukan instropeksi diri.

Mengapa nafsu tak perlu dilenyapkan? Karena melenyapkan atau menghilangkan nafsu samasekali justru merupakan tindakan melawan kodrat alam. Coba Anda bayangkan jika nafsu dimusnahkan, pasti kehidupan manusia akan segera punah dari muka bumi dalam waktu 100 tahun ke depan. Karena nafsu itu ada, karena menjadi alat untuk bertahan hidup, regenerasi, serta melangsungkan kehidupan. Sebaliknya, memanfaatkan nafsu secara berlebihan atau tak terkendali sama halnya dengan melakukan bunuh diri dan membunuh kehidupan lainnya secara perlahan namun pasti. Nafsu adalah anugrah Tuhan, berkah alam semesta juga. Nafsu hanya perlu dimanfaatkan sebagaimana mestinya sesuai kodrat alam. Jika digunakan secara arif dan bijak akan menghasilkan kebaikan pula. Bukankah semua manusia lahir ke bumi berkat “jasa baik” sang nafsu juga. Sebab itu, nafsu tidak perlu dimusnahkan atau dilenyapkan dari dalam jagad alit diri manusia. Pengendalian nafsu bertujuan supaya seseorang berpegang pada prinsip nuruti kareping rahsa. Bukan sebaliknya nuruti rasaning karep. Sampai disini, alasan utama mengapa seseorang perlu menjalani laku prihatin, tidak lain untuk menggapai kesadaran lebih tinggi dalam memaknai apa sejatinya hidup di dunia ini. Pada gilirannya, kesadaran tersebut dapat menjadi sarana utama untuk menggapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Secara spiritual, laku prihatin mempunyai energi yang memancar ke segala penjuru. Energi yang timbul dari dalam diri (jagad kecil) yang selaras dan harmonis dengan hukum alam (jagad besar). Keselarasan dan sinergi di antara keduanya inilah yang akan menempatkan seorang penghayat laku prihatin dalam jalur hidup yang penuh dengan anugrah dan berkah alam semesta.

PRINSIP DASAR DALAM LAKU PRIHATIN

Menjalani laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk mengendalikan nafsu negatif yang bersumber dari kelima indera yang dengan instrumen hati sebagai terminal nafsu tersebut (tapa brata dan tarak brata). Kita semua tahu, bahwa pemenuhan nafsu negatif memiliki daya tarik yang luar biasa karena di dalamnya menyimpan segudang kenikmatan. Kenikmatannya sungguh dahsyat dan menggiurkan, namun bersifat semu atau imitasi. Anda bisa juga menyebutnya sebagai kenikmatan palsu, di mana kenikmatannya bersifat tidak langgeng, dan cenderung merusak. Tak ada kepuasan, dan setiap saat minta dituruti kemauannya tanpa kenal waktu. Setiap hari tuntutan nafsu akan semakin bertambah kompleks dan semakin variatif. Artinya, tingkat kepuasan nafsu hanyalah sementara saja. Apabila nafsu berubah menjadi liar maka karakternya menjadi negatif dan destruktif. Sebagai konsekuensinya, bagi yang belum terbiasa menjalani laku prihatin, ia akan merasakan “kepedihan” dan “kehausan” dalam hati. Bagaikan minum air garam, semakin banyak minum Anda akan semakin merasa haus. Itulah karakter nafsu negatif. Paling prinsip menjalani laku prihatin, adalah berupa PENGUASAAN dan DOMINASI “kerajaan batin” terhadap “kerajaan jasad” yang berpusat di dalam gejolak nafsu.

SULITNYA MENGIDENTIFIKASI LAKU PRIHATIN

Dari pembahasan ini dapat diambil intisari bahwa menjalani keprihatinan (laku prihatin) sama sekali TIDAK IDENTIK dengan perilaku yang gemar hidup dalam penderitaan, kesengsaraan dan serba kekurangan. TIDAK IDENTIK pula dengan perilaku serba membatasi diri untuk menghindari gaya hidup yang serba kecukupan lahir dan batin. Bukankah kita semua tidak ingin menjadi “pengemis” atau menjadi orang “peminta-minta” yang telapak-tangannya selalu menengadah?!

Untuk menghindari cara hidup seperti itu, kita mesti memegang prinsip bahwa setiap saat “kerajaan batin” harus mampu ngemong atau mengasuh “kerajaan jasad” agar tidak nyelonong ke arah yang negatif. Dengan begitu terbangun pola keseimbangan antara “kerajaan batin” dengan “kerajaan lahir”. Dalam implementasi perbuatan, dapat dilihat ketika SIKAP seseorang menjalani hidup ini secara tidak berlebih-lebihan, maksudnya memenuhi segala keinginannya melebihi apa yang ia butuhkan. Idealnya, hidup ini dijalani dengan sikap sakmadyaning gesang ; artinya proporsional, selaras, dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup. Prinsip keseimbangan tersirat dalam sebuah tamsil “ngono ya ngono ning aja ngono”. Untuk itu sering kita diingatkan agar supaya menjalani hidup secara proporsional, tetap berada dalam batas toleransi untuk melakukan sesuatu hal, asal tidak kebablasan, atau melampaui batas nilai kepantasan, nilai kebutuhan, dan melebihi batas nilai kewajaran (norak). Kemewahan hidup bukan lantas berarti seseorang tidak menjalani “laku prihatin”. Namun hidup bermewah-mewahan konotasinya adalah hidup berlebih-lebihan (melebihi apa yang menjadi kebutuhan), dan makna ini yang termasuk tidak menjalani “laku prihatin”. Misalnya seorang pengusaha, membeli mobil berjumlah 10 unit dengan berbagai tipe dan mahal harganya untuk menjelajah medan yang berbeda-beda, atau untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaannya. Ini bukan termasuk pola hidup berlebihan dan bermewah-mewah. Lain halnya, keluarga kecil yang terdiri hanya 3 orang anggota keluarga, membeli kendaraan mewah hingga 4 unit atau lebih, melebihi apa yang dibutuhkan untuk operasional sehari-hari. Ini termasuk hidup berlebihan dan bermewah-mewah. Walaupun hal itu menjadi hak setiap orang untuk melakukannya, namun dampak negatif ada pada dirinya sendiri. Kembali kepada diri sendiri.

CONTOH PENILAIAN TERHADAP “LAKU PRIHATIN”

Berikut di bawah ini, saya kemukakan beberapa contoh teknis mengidentifikasi apakah suatu penderitaan merupakan bentuk keprihatinan atau bukan. Jika bukan, penderitaan itu bisa jadi merupakan hukuman atau akibat dari sebab pernah melakukan kesalahan kepada orang lain. Maka dari itu kita bisa melihat apa faktor penyebab seseorang mengalami penderitaan.

Suatu keadaan menderita BUKAN termasuk dalam kategori LAKU PRIHATIN, apabila keadaan itu akibat dari ulah perbuatannya sendiri. Misalnya sebagai berikut;

Seseorang dipenjara karena ia mencuri, korupsi, membunuh orang.
Seseorang yang hidupnya serba susah, celaka, sial dan menemui kesulitan, karena ia gemar mempersulit orang lain, menyerobot hak orang lain, dan sering menyakiti hati sesama, atau sering menyusahkan orang banyak baik disadari maupun tidak disadarinya.
Seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi, karena ia orang yang malas bekerja, menyia-nyiakan masa-masa belajar dengan mengejar kesenangan hedonistis.
Orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena ia orang yang tidak jujur dan tidak bisa dipercaya untuk bertanggungjawab menjalankan tugas dan tanggungjawab pekerjaan.
Kehilangan harta benda, karena ia seorang yang pelit, atau orang yang mencari harta denga cara menindas (menari di atas bangkai). Misalnya menangguk untung besar atas pembebasan tanah (menyerobot) yang dilakukan secara tidak adil, kurang adil dan tidak jujur, rentenir dan sejenisnya.
Sakit parah di masa tua hingga menghabiskan seluruh harta kekayaannya, karena di masa lalu ia menjadi hakim, pengacara, aparat penegak hukum, jaksa, dsb yang sering mempraktekan “pagar makan tanaman”, tidak menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran.
Mengalami berbagai peristiwa tragis, yang mengakibatkan kehilangan harta benda atau nyawa, sakit parah tak kunjung sembuh, tak ada orang yang mau menolongnya, karena di masa lalu ia berpraktek menjadi rentenir, lintah darat, atau memiliki pesugihan, atau sering menyerobot hal orang lain.

Contoh-contoh di atas lebih berupa hukuman atau karma (karma-pala). Yakni akibat ulah dirinya sendiri yang menimbulkan dampak berlangsungnya hukum sebab-akibat. Siapa menanam, akan mengetam. Meskipun demikian, orang yang terkena karma atau terkena eksekusi dari mekanisme hukum alam, jika dapat menjalani semua penderitaan itu dengan PENUH KESADARAN untuk menerima dan instropeksi diri akan kesalahannya selama ini, sikap demikian justru akan mempercepat selesainya “masa hukuman”. Paling tidak, kemungkinan masih ada waktu untuk mengoreksi kesalahan lalu memperbaiki pada sisa-sisa waktu yang masih ada. Sikap demikian termasuk laku prihatin level bawah. Caranya adalah menjalani masa-masa “hukuman” dengan sikap menerima, sabar, ikhlas, tidak menggerutu. Lebih ideal jika kita melakukan evaluasi diri apakah kira-kira kesalahan yang kita lakukan baik yang kita sadari maupun yang tidak disadari selama menjalani kehidupan ini. Setelah itu, berusaha mengoreksi kesalahan-kealahan selama ini, yakni dengan menjalani kehidupan dengan prinsip yang lebih ideal dibanding waktu masa lalu.

Karena sulitnya mengidentifikasi suatu penderitaan, apakah termasuk hukuman ataukah jalan untuk laku prihatin. Saya pribadi menempuh sikap “paling aman”, dengan cara lebih suka menganggap suatu penderitaan sebagai HUKUMAN tuhan atau alam semesta, ketimbang menganggapnya sebagai COBAAN (bagi orang-orang beriman). Jika saya menganggap setiap derita sebagai cobaan, maka sikap demikian beresiko menimbulkan sikap kurang waspada dan kurang eling. Sebaliknya tanpa disadari justru membuat sikap “besar kepala”, merasa diri sudah beriman lalu disayang tuhan. Karena tuhan sayang kepada kita kemudian tuhan memberi cobaan. Inilah sikap yang penuh bias, sikap menghibur diri sendiri, sikap GEDE RASA (Ge-eR), dengan menyangka disayang-sayang Tuhan, lalu tuhan pun mencoba dirinya. Di sinilah awal mula kita tergelincir karena hilangnya sikap eling dan waspada. Terlalu naif kiranya.

Lalu…manakah yang disebut laku prihatin ? Baiklah, di bawah ini saya fokuskan pembahasan soal apa saja perbuatan yang termasuk kategori LAKU PRIHATIN. Termasuk pembahasan beberapa scope atau lingkup/cakupan laku prihatin yang menentukan level-level kualitasnya. LAKU bermakna bahwa perbuatan yang tidak disengaja maupun disengaja atau direncanakan secara sadar untuk mengoptimalkan kekuasaan “kerajaan batin” atas “kerajaan jasad” kita sendiri.

KATEGORI LAKU PRIHATIN

Dilihat dari faktor penyebabnya, laku prihatin dapat dibagi menjadi dua kategori. Yakni laku prihatin disengaja, dan laku prihatin tidak disengaja ; by sabdalangit

Laku Prihatin Tidak Sengaja

Suatu keadaan di mana seseorang terpaksa mengalami suatu penderitaan yang disebabkan bukan oleh akibat langsung dari ulah dirinya sendiri. Keprihatinan tak sengaja ini disebabkan oleh ulah orang lain. Seseorang mengalami keprihatinan karena menjadi obyek penderita saja. Dengan kata lain keprihatinan timbul sebagai akibat atas situasi dan kondisi keadaan di sekeliling kita, misalnya ulah orang lain yang bertindak ceroboh, maupun ada unsur sengaja ingin mencelakai diri kita. Misalnya ulah para koruptor yang menggasak kekayaan negara mengakibatkan kesengsaraan rakyat yang tak kunjung usai. Atau ulah teroris yang meledakkan bom, sehingga membunuh salah satu anggota keluarga yang menopang nafkah bagi seluruh keluarganya. Akibatnya adalah timbulnya kesulitan hidup bagi anggota keluarga yang dinafkahi korban yang telah mati. Anggota keluarga yang ditinggalkan, hidup dalam suasana penuh keprihatinan. Keprihatinan tak sengaja, di dalamnya termasuk keprihatinan sebagai akibat dari force major atau kejadian yang tak terelakkan seperti musibah dan bencana alam. Penderitaan yang dialami sebagai ekses atau akibat buruk atas kejadian di luar diri yang menimpanya. Namun demikian penderitaan yang menimpa diri kita tidak secara otomatis menjadi ajang untuk menjalani (laku) prihatin. Semua masih tergantung pada cara kita merespon atau menyikapinya. Apabila diri kita tetap banyak-banyak mensyukuri sisa-sisa nikmat dan anugrah yang ada, serta tidak ngedumel atau menggerutu (grenengan), atau selalu mengeluh. Sebaliknya justru dijalani dengan benteng kekuatan terakhir yakni kesabaran dan ketulusan, tetap kuat dan semangat berusaha dengan gigih, sekuat tenaga dan pikiran untuk meneruskan hidup, maka penderitaan yang dialami itu barulah akan berubah menjadi “laku” prihatin.

Sia-sia kah kesabaran, ketulusan, dan sikap gigih berusaha yang Anda lakukan ? Tentu saja tidak ada yang sia-sia. Dalam kurun waktu tertentu, cepat atau lambat, apa yang Anda lakukan akan membuahkan hasil yang gemilang. Kesuksesan hidup lahir dan batin akan Anda rasakan. Begitulah rumus baku sebagai kuci dalam upaya Anda merubah MUSIBAH menjadi ANUGRAH yang terindah. Masukkan prinsip hidup di atas ke dalam jiwa Anda, lalu wujudkan kesadaran “jiwa” anda tersebut ke dalam perbuatan nyata, yakni menghayatinya dalam setiap gerak langkah kehidupan Anda di manapun dan suasana apapun juga. Itulah makna dari JAWA, yakni jiwa kang kajawi, jiwa kang kajawa. Menjiwai nilai-nilai luhur kedalam perbuatan sehari-hari. Nilai-nilai luhur yang telah dijiwai, lalu dihayati dalam perbuatan nyata. Jawa iku jawabe ! dudu mung ujare. Yang penting adalah tindakan nyata, bukan sekedar mulut berbusa-busa memainkan teori. Falsafah hidup bagi orang Jawa yang belum hilang kejawaannya; yang terpenting dari nilai luhur, bukan sekedar katanya (teorinya), tetapi aplikasinya dalam perbuatan sehari-hari. Bangunlah jiwanya, maka bangunkan badannya..!! Kesadaran jiwa, diimbangi oleh kesadaran berbuat.

Laku Prihatin Disengaja

Laku Prihatin disengaja atau direncanakan mempunyai dua macam orientasi. Pertama ; laku prihatin yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup diri pribadi. Misalnya Anda melakukan berbagai ritual puasa, cegah turu, atau melek-melek, cegah syahwat atau sesirih. Anda mengembara berkelana jauh tanpa bekal apapun di tangan dengan tujuan merasakan kehidupan yang polos, lugas, apa adanya, dan mendapatkan berbagai pengalaman untuk merasakan sisi kehidupan yang tak pernah Anda rasakan sebelumnya. Atau Anda sengaja hidup dalam suasana yang serba kekurangan atau pas-pasan. Laku prihatin ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas mental lahir dan batin setiap masing-masing pribadi yang sengaja menjalani “laku prihatin” model demikian. Namun laku prihatin ini manfaatnya belum bisa dirasakan oleh orang lain atau lingkup yang lebih luas secara langsung. Kedua ; laku prihatin dengan tujuan agar hidup kita bermanfaat bagi lingkungan yang lebih luas. Misalnya membantu sesama, atau menolong orang lain yang sedang mengalami penderitaan dan kesulitan dengan tulus tanpa pamrih apapun (tapa ngrame).

LEVEL LAKU PRIHATIN

Level Bawah (Orientasi Diri Pribadi)

Laku prihatin level bawah berorientasi untuk kebutuhan meningkatkan kualitas diri pribadi. Masing-masing orang sah-sah saja menjalani laku prihatin level bawah ini dengan cara dan gaya yang berbeda-beda, misalnya dengan cara berpuasa, cegah tidur, cegah sahwat, cegah makan, atau mengembara tanpa bekal uang di tangan, makan hanya apa yang ditemukan saja, menjalani hidup dalam kondisi serba pas-pasan bahkan serba kekurangan. Semua dijalani dengan kesabaran dan ketulusan, untuk membangun kekuatan mental lahir dan batin. Hilangnya rasa takut berganti dengan nyali berani hidup dalam gelimang derita dan sengsara (lara lapa). Namun laku prihatin ini efeknya sebatas mematangkan dan menguatkan keadaan mental lahir dan batin si pelaku. Apapun cara laku prihatin yang Anda lakukan tidaklah menjadi soal, yang penting dilakukan dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah karena akan percuma sia-sia saja, tak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Manusia sejati kuat mental lahir dan batin bukanlah orang yang berani mati, tetapi orang yang berani hidup. Yakni hidup dalam gelimang sengsara dan derita (kuat tapa brata; lara lapa, lara wirang). Namun, menjalani laku prihatin seperti itu belumlah cukup untuk meraih suatu kemuliaan yang sejati. Diumpamakan, kita baru memperoleh instrumen atau alat untuk meraih tujuan. Alat itu berupa kematangan sikap, lahir dan batin, solah (perilaku lahir) dan bawa (perilaku batin) yang arif dan bijaksana dalam memahami dan menjalani kehidupan yang teramat kompleks ini.

Level Tinggi (Orientasi Publik)

Berbeda dengan laku prihatin di atas, yang saya kategorikan sebagai bentuk laku prihatin level bawah, maka laku prihatin ORIENTASI PUBLIK saya kategorikan sebagai laku prihatin level tinggi. Penghayat laku prihatin bukan lagi berorientasi untuk meningkatkan kualitas mental lahir dan batin dengan obyek (sasaran) pribadinya sendiri. Dengan bekal instrumen atau alat berupa kualitas diri lahir dan batin sudah tercapai, maka yang paling utama adalah memanfaatkan instrumen tersebut dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkup “ruang publik”, dengan obyek/sasaran yang lebih luas yakni orang banyak. Laku prihatin berorientasi publik, dilakukan dengan penuh kesadaran diri akan makna sejatinya kehidupan ini. Termasuk untuk menjawab atas pertanyaan,”untuk apa kita lahir dan berada di planet bumi ini? Bagi saya pribadi, kita hidup bukan untuk MENCARI. Melainkan untuk memberi. Memberi artinya membuat diri kita bermanfaat untuk seluruh makhluk dan lingkungan alam di sekitar kita. Yakni saling memberi kasih sayang (welas asih) kepada seluruh makhluk tanpa kecuali. Welas asih memiliki wujud konkrit, yakni berupa SEDEKAH (donodriyah) atau memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh makhluk. Meliputi sedekah lahir berupa harta, tenaga, pikiran, sedekah doa (paling lemah). Dan sedekah batin berupa kasih sayang yang menghasilkan rasa nyaman, aman, tenteram. Memberi, atau donodriyah, dalam falsafah hidup Jawa disebut sebagai mulat laku jantraning bumi. Mengikuti sifat tabiat bumi yang selalu memberi kehidupan kepada seluruh makhluk tanpa kecuali, dan tanpa pilih kasih. Untuk menghayatinya, kita terlebih dahulu harus menjadi manusia yang memiliki instrumen lahir dan batin yang cukup ideal. Yakni menjadi manusia yang MERDEKA LAHIR & BATIN, yang manusia yang tidak lagi tersekat-sekat oleh primordialisme agama, golongan, kepentingan politik, suku, dan ras.
Sumber By sabdalangit

Tidak ada komentar: